About

Egik Yojana. I love My Mom. Mom, you are my everything. Love Mom more than everything. Ibu = Malaikat Dunia dan Akhirat :)

Kamis, 28 Maret 2013

Kau Tak Selamanya Benar!

Pagi ini, senyum mentari makin lebar saja. Hari ini terasa berbeda. Entah karena apa. Kulemparkan selimut yang sejak tadi malam melilit tubuhku, ingin rasanya segera beranjak dari duniaku malam tadi. Kuharap pagi ini bisa lebih baik dari kemarin. Hari di mana harus ada pertengkaran hebat dengan sahabat sendiri. Tapi ya, lupakan! Itu terjadi kemarin, dan semoga tidak terjadi hari ini.

Kurasa, pertengkaran kemarin adalah hal yang konyol. Aku merasa bodoh kemarin. Bodoh sekali aku yang mau berdebat dengan seorang 'petinggi' kelasku. Jelas kalah pastinya. Pendukungnya dia lebih banyak daripada aku. Emang aku siapa di kelas? Mungkin hanya sekedar 'kacung' yang tak pernah tau mengapa harus terlahir dan hadir untuk selalu dipermalukan di depan mereka. Biarlah, lupakan! Itu kemarin, bukan hari ini.
"Nak, cepat mandi... Udah jam setengah enam ini.." suara Ibu cetar langsung masuk ke telingaku.
Ya Tuhan! Setengah enam? Mati dah! Langsung aku berlari ke kamar mandi, mandi secepat - cepatnya. Kalau bisa lebih cepat dari seorang pelari. Akhirnya selesai juga.. Kulihat jam, si jarum panjang sudah ada di angka 10 dan si pendek sudah ada di angka enam. "Aduh! jangan sampek telat lagiii"
Sesampainya di sekolah, seperti biasanya. Bel masuk sudah berbunyi. Aku ikhlas menjalani hari ini. Biarpun harus hanya terdiam dan tak harus melakukan hal penting seperti para 'petinggi' kelas ini. Kuhrap hari ini tidak ada perdebatan lagi. Aku sudah benar - benar nggak kuat kalau harus dipermalukan lagi. Sebenarnya sudah sejak dulu aku ingin melontarkan segala kebencianku pada dia. 'petinggi' kelas yang nggak pernah pengertian sama 'kacung'nya. Aku. 
Harapanku kali ini benar - benar tidak didengarkan oleh Tuhan. Mungkin dia nyasar. Hanya karena tugas, memaksaku untul melontarkan segala argumenku di sini. Tapi apa? Percuma. Tabiatnya yang benar - benar tidak mau kalah tidak sebanding dengan aku yang selalu merasa direndahkan. Aku haruis mengalah. Lagi. Sudahlah, biarkan! Aku sadar, aku bukan siapa - siapa. Aku sadar, aku tak pantas ada di antara mereka. Tapi, sebenarnya sakit yang kurasakan terasa benar - benar kesakitan orang sekarat. Tak ada gunanya aku di sini. Aku ingin mati.
Tapi, saat jam pulang sekolah aku lebih memilih berdiri menatap langit dari dalam kelasku sendiri. Hening. Aku sendiri. Hanya suara lembut detak jam yang menemani waktuku. Aku berfikir "tak pantaskah aku hidup di dunia ini? Apa hanya dia yang pantas menang dan merasakan indahnya kemenangan?" air mataku menetes. Sekali lagi, aku harus menangis karena kemenangannya. "bukankah aku juga hidup? Bukankah Tuhan itu adil? Pasti ada ruang untuk kemenanganku! Bukan hanya dia yang pentas menang di panggung kehidupan ini!" pikirku. 
"aaaaaaaaaaaa!!!!!" aku frustasi. Tuhan pasti adil! Pasti ada ruang kemenangan untukku! Aku harus bisa melampiaskan semua kesakitan ini di depannya. Semua manusia punya kesempatan menang! Tak pandang status, jabatan, ataupun harta yang dimilikinya. Semua orang punya hak! Tak hanya para 'petinggi' yang boleh menang! Para 'kacung' juga punya hak untuk didengarkan. Para 'kacung' juga punya hak untuk kemenangan!
Bismillah... semoga hari ini aku bisa melampiaskan rasa sakitku padanya. Tidak. Hari ini aku harus melihat 'petinggi' itu dekat dengan pujaan hatiku. Rasanya, seperti ribuan pedang ditusukkan bersamaan dalam satu waktu. Tapi, sakitnya lagi aku belum  mati. Sebenarnya, dia punya perasaan atau tidak? Bayangkan saja, sebenarnya dia tau begitu besar rasa sayangku pada pujaan hatiku. Tapi apa? Dia malah dengan PD nya dekat - dekat dengan sang pangeran. Padahal dia tahu, aku ada di situ. "dasar setan!" batinku dalam hati. Aku berlari ke luar kelas. Menangis.
Aku berharap siang ini ada debat lagi. Benar. Perdebatan terjadi.
"Hey, Sa! Apa yang kamu bilang tadi salah. Seharusnya nggak gitu!" bentaknya pada, Risa yang menerangkan tugas pada yang lain.
"Jelasin, Na!" dengan santainya dia menyuruhku. 
Setelah kujelaskan....
"Bukan gitu, Na! Ahh.. kalian ini semuanya salah pengertian!" ucapnya dengan sombong. Semua anak tertunduk merasa bersalah. Aku berani angkat bicara.
"Kamu itu gimana sih? Gini salah, gitu salah. Terus yang bener gimana?!" aku juga berani bentak dia.
"yang bener itu kayak punyaku!" katanya dengan nada sombong.
"enak banget kamu! Kamu tau? kamu itu selalu bilang kalau punyamu itu benar! Padahal enggak! Nggak semua yang kamu katakan itu benar! Kamu itu bukan malaikat yang sama sekali tak punya kesalahan! Serendah apapun aku, dan setinggi apapun kamu, kamu itu pernah salah dan aku juga pernah benar! Ngerti?" sekali lagi aku juga punya hak untuk bicara.
Nayla si sombong terdiam. Dia hampir mencoba untuk menjawab.
"dan, nggak semua petinggi kayak kamu selalu benar! Nggak semua perkataanmu adalah benar! Aku, walaupun aku bukan siapa - siapa, tapi aku juga pernah benar! Nggak selamanya aku harus ngalah. Kamu tau, udah berapa ribuan tetes airmata netes cuma buat nangisin kekalahanku? Aku selalu merasa salah, karena semua perkataan somobongmu itu. Jadi, kuingatkan sekali lagi. Setinnggi apapun kamu, kamu pasti pernah salah. Dan serendah apapun aku, ada kalanya apa yang kukatakan adalah benar. Makasih!"
Aku meninggalkan kelas itu dengan penuh kebanggaan. Aku berhasil mengungkapkan segala rasa sakitku. Emang cuma dia yang bisa benar? Aku juga bisa! ***

0 komentar:

Posting Komentar