Perhatian ibu lebih besar daripada perhatian dia.
Itulah materi yang saya junjung kali ini. Saya mendapat inspirasi dari hal ini
dari ibu saya sendiri. Dan cerita yang saya junjung kali ini adalah cerita yang
benar – benar saya alami. Memang benar, perhatian yang dicurahkan dia (pujaan
hati saya) masih jauh dari kategori perhatian ibu saya. Dan mulai saat itu, saya mulai paham, yang paling mengerti dan memahami saya bukanlah sahabat,
teman, kekasih, bahkan musuh. Yang benar – benar paham tentang saya hanyalah
ibu. Bahkan ibu mengerti hal tentang saya yang saya tidak pernah pahami.
Sore
itu, saya pulang agak larut karena ada ekstrakulikuler. Dan kejamnya lagi, saat
saya turun dari bus keadaan sudah hujan deras. Tapi, saya belum sampai rumah.
Saya masih sampai pasar dan untuk sampai rumah saya harus dijemput di pasar
tersebut. Keadaan sore itu mistis. Hujan deras, langit gelap, ditambah suara
petir yang sambar – menyambar. Untungnya, saat menunggu jemputan saya tidak sendiri.
Banyak orang yang berteduh dari terpaan angin sore yang harusnya lembut menyapa
menjadi garang penuh amarah.
Sesampainya
di rumah, saya segera mandi dan bersiap shalat maghrib. Saya belajar ditemani
sosok wanita yang telah menemani saya hingga 14 tahun berada di dunia. Wanita
itu akrab kusapa Mama. Wanita yang terlamapu sering menjawab pertanyaan dan
kata – kata yang tak pernah henti tersirat dari mulut ini. Wanita yang
terlampau sering mengelus lembut rambut dengan curahan do’a manis. Hanya Mama yang
terlampau sering melakukan hal itu. Tak tertandingi.
Hanya
Mama yang paling setia mendengarkan segala curahan hati saya. Hanya Mama yang
mampu menuntun saya keluar dari sebuah kegelapan masalah. Pertamanya saya
bercerita tentang ‘ alergi ‘. Dan saya berkata “alergi itu yang gimana to, ma?”
kudengar lantunan kata terurai lembut dari bibir manisnya dan berkata “alergi
itu waktu kulitmu semua jadi merah”. “gatal nggak, ma?” pertanyaanku masih
berlanjut. “ya, mana mama tau kan mama nggak pernah ngrasain. Harusnya kamu
yang tau, soalnya yang pernah ngrasain itu kamu” jawab mama sabar. Aku kaget,
“lho aku pernah alergi to, ma? Kapan? Alergi apa?” pertanyaanku kunjung
memuncak. Mama tertawa kecil sambil menjawab “pernah. Dulu waktu masih kecil
alergi sama antibiotik”. “masih kecil? Sama adek kecilan siapa?” mama menjawab
“masih kecilan kamu, mata kamu waktu alergi itu merah dan semua kulitmu juga
merah. Makanya, sekarang kalau ke dokter mama selalu pesen nggak usah pakai
antibiotik” mama njawabnya sabar banget. J
Saya
salut, pengen nangsi rasanya. Mama hebat, paham banget tentang saya dan saya
tidak terlalu paham tentang Mama. Mama hebat, mama tahu hal tentang saya yang
saya sama sekali tidka paham. I LOVE YOU, MOM !!
0 komentar:
Posting Komentar